Analisa Politik

Analisa Politik : G7 Ganjalan Tiongkok?

  G7 2021 : Waspadai Dominasi Tiongkok? Sumber : thetimes.co.uk Baru-baru ini, para pemimpin G7 (Group of Seven) mengadakan pertemuan tatap ...

Friday, April 3, 2020

Ada Gejolak Politik di Balik Corona, Benarkah?


GEJOLAK POLITIK DITENGAH CORONA

Sumber Foto : breakingnews.co.id


Pemerintah Indonesia dipastikan tidak akan menerapkan lockdown atau karantina wilayah seperti yang dilakukan negara lain dalam menghadapi virus Corona. Namun, keputusan pemerintah pusat tersebut nyatannya bertolak belakang dengan pemerintah daerah. Pasalnya, beberapa daerah di Indonesia ada yang memberlakukan kebijakan lockdown, dengan demikian, di tengah mewabahnya virus Corona yang menyerang Indonesia, sepintas terlihat adanya gejolak politik yang terjadi. Benarkah demikian?


Semakin menyebarnya virus Corona atau yang disebut Covid-19 di Indonesia, nyatanya telah menimbulkan rasa kecemasan yang kian hari semakin tinggi, kecemasan tersebut hadir dikarenakan banyaknya dari kalangan masyarakat yang merasakan dampak begitu besar, salah satunya dampak perekonomian yang banyak dirasakan oleh para pekerja lapangan.

Menurut Eyal Winter dalam Collective Anxiety: Why Bad News Turns Us on and Good News Bores Us menyebut kecemasan massal di tengah masyarakat cenderung meningkat ke level yang tidak bisa diprediksi dalam situasi sulit akibat Covid-19, hal ini juga mempengaruhi keputusan rasional serta perilaku terhadap sesama.

Di sisi lain, campaign mengenai anjuran untuk tetap di rumah saja, tampaknya memberikan dampak kerugian yang dirasakan masyarakat yang melakukan pekerjaannya di lapangan, salah satunya ojek online. Selain masyarakat yang berprofesi sebagai ojek online, mungkin juga banyak masyarakat yang berprofesi sebagai pekerja lapangan merasakan kerugian akibat wabah penyakit global tersebut.

Selain hal tersebut, masyarakat juga dibayang-bayangi kebijakan lockdown atau situasi yang melarang warganya untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Pasalnya, kebijakan tersebut pastinya akan menimbulkan dampak yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat.

Kendati dengan adanya bayang-bayang penerapan lockdown di Indonesia, sepertinya pemerintah Indonesia tidak akan menerapkan hal tersebut seperti yang dilakukan oleh negara lain dalam menghadapi situasi yang mengecam ini.

Salah satu faktor utama pemerintah tidak akan menerapkan lockdown, karena kekhawatiran akan menimbulkan dampak baru, seperti sejumlah negara yang telah menerapkan lockdown diantaranya Prancis, Italia, Denmak, dan Bahkan baru-baru ini di India, lockdown justru menimbulkan demonstrasi besar dari warganya dan menimbulkan kekacauan.

Profesor sekaligus ekonom dari University Business School Sunway, Dr. Yeah Kim Leng dalam pertemuan dan perayaan sosial, politik, agama, dan komersial menyebut penguncian atau lockdown yang dilakukan di wilayah akan menimbulkan ekonomi ke arah pengurangan pengeluaran konsumen dan bisnis, bahkan akan menyebabkan kegagalan bisnis sehingga banyak perusahaan akan melakukan PHK.

Menarikanya, pemerintah daerah justru banyak yang menerapkan lockdown untuk memerangi pandemi ini, diantaranya Solo, Bali, Tegal, Papua, Maluku, Banda Aceh dan beberapa daerah lainnya.

Jika demikian, manakah langkah yang harus diikuti masyarakat dalam memerangi pandemi corona tersebut, sepintas terlihat seperti terdapat dilematisme kebijakan antara keselamatan warganegara 
dengan kemerosotan perekonomian negara.

Gejolak Politik di Tengah Corona

Pemerintah Indonesia sepertinya masih dibayang-bayangi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di negara-negara yang menerapkan lockdown dan mendapatkan dampak akibat kebijakan tersebut, bahkan menimbulkan dampak gejolak politik, sehingga pemerintah belum menerapkan lockdown hingga saat ini.

Baru-baru ini, India merupakan salah satu negara yang merasakan dampak baru akibat penerapan lockdown. Perdana Menteri India Narendra Modi menerapkan kebijakan lockdown guna menangani pandemi Covid-19. Namun, tak sampai sepekan setelah penerapan kebijakan tersebut, terjadi kerusuhan yang luar biasa dan bahkan menimbulkan kelaparan massal hingga kematian warga yang disinyalir ingin mencoba pulang kampung.

Mengacu pada persitiwa yang terjadi di India tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintah Indonesia sepertinya masih mempertimbangkan kebijakan lockdown dengan melihat peristiwa yang terjadi di beberapa negara akibat penerapan kebijakan lockdown serta dampak yang terjadi akibat kebijakan tersebut.

Secara Psikologi, Menurut Gunarsa dalam bukunya, menyebut suatu pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang didapatkan dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan guna memberikan stimuli dalam pengambilan sikap.

Artinya, selalu ada pembelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi untuk mempengaruhi persepsi guna memberi stimulus dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan. Dalam konteks ini peristiwa yang terjadi di India sepertinya mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam mengambil suatu kebijakan.

Namun, Di sisi lain di tengah bayang-bayang gejolak politik akibat penerapan lockdown yang menghantui pemerintah Indonesia nyatanya pemerintah daerah banyak menerapkan kebijakan semi-lockdown, salah satunya yaitu pemerintah DKI Jakarta yang menerapkan semi-lockdown dengan melakukan pembatasan jam operasional armada transportasi umum milik Badan Usaha Milik Daerah DKI Jakarta (BUMD DKI) sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 di sekitar Ibukota.

Menariknya, penerapan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta guna mengurangi penyebaran pandemi tersebut, mendapatkan kendala dalam pengoperasiannya, karena terdapat arahan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi dan sekaligus sebagai Plt Menteri Perhubungan, Luhut Binsar Pandjaitan untuk menunda pembatasan jam operasional dan menunggu kajian dampak ekonomi keseluruhan.

Melihat lebih dalam konteks tarik ulur kebijakan tersebut, sepintas terlihat tidak adanya harmonisasi dan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diketahui, dalam beberapa kebijakan yang terjadi di daerah-daerah dan pusat sering terdapat perbedaan yang signifikan.

Dengan kondisi dan dalam sistem pemerintahan saat ini, suatu harapan untuk tercapainya tujuan dalam memerangi wabah global tersebut yaitu dengan adanya harmonisasi dan keselarasan kebijakan.

Sebagaimana John Sinclair dalam Collins Cobuild Dictionary, menyebut keharmonisan dapat membentuk suatu proporsi yang tepat satu sama lain sehingga mudah dalam menyelesaikan suatu peristiwa dan dapat terhindar dari gejolak politik yang dapat menghambat tujuan.

Lantas, dalam konteks ketidak harmonisasian dan sinkronasi kebijakan antara pusat dan daerah ini dapat menimbulkan pertanyaan, terutama dengan semakin banyaknya kebijakan yang tidak sama antara daerah dan pusat, jika demikian, apakah pemerintah daerah sudah tidak mempercayai pemerintah pusat?

Pemerintah Pusat dan Daerah Saling Bertolak Belakang?

Persoalan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah memang menggambarkan konsekuensi dari sistem otonomi daerah yang dianut negara ini.

Kenneth Clinton dalam The Modern Constitutions, menyebut bahwa kesepakatan dasar para pengambil kebijakan yang di dasarkan pada kondisi politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum atau apa yang biasa disebut sebagai resultante atau konskuensi.

Artinya, sangat mungkin sekali suatu kebijakan daerah berbeda dengan daerah lainnya bergantung pada kondisi-kondisi yang menentukan.

Namun, dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah seharusnya menjadi satu keharmonisasian yang utuh dan bersifat mengikat, hal tersebut dikarenakan pemerintah pusat memiliki hak dalam controling daerah-daerah otonom.

Menurut Josef Riwu Kaho dalam bukunya Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Menyebut pemerintah pusat mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom yaitu daerah-daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Artinya, wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya itu berasal dari atau pelimpahan tugas dari pemerintah pusat.

Kendati dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah semakin tidak menemui titik terang dalam mengurangi penyebaran virus tersebut, sepintas terlihat adanya krisis kepercayaan yang dialami pemerintah pusat, pasalnya, pemerintah daerah tidak bergantung pada kebijakan pemerintah pusat untuk tidak menerapkan kebijakan lockdown.

Krammer dalam Trust in Organizations menyebut istilah kepercayaan merupakan suatu harapan yang lebih umum tentang sistem sosial dan secara psikologi, ia menyebut kepercayaan merupakan kondisi kerentanan atau resiko yang timbul akibat ketidak pastian tentang motif dan tindakan untuk bergantung.

Mengacu pada istilah yang disebutkan Krammer, secara psikologi pemerintah daerah mungkin telah merasakan ketidak pastian tentang motif dan tindakan yang dilakukan pemerintah pusat dalam menangani wabah Covid-19 tersebut sehingga menimbulkan kerentanan dan resiko yang semakin parah yang dirasakannya, sehingga menerapkan kebijakan yang berbeda dengan pemerintah pusat.

Dengan demikian, dengan konteks bahwa saat ini pemerintah pusat sedang mengalami krisis kepercayaan, maka gejolak politik yang terjadi di tengah serangan wabah Covid-19 harus segera di selesaikan. Bukan tanpa alasan, sosok Jokowi memang menjadi sosok penting dalam situasi ini.

Atas dasar itu, mungkin dapat disimpulkan, walaupun jabatan Presiden yang diamanatkan kepada Jokowi terbilang masih 4 tahun lagi, sepertinya telah terjadi gejolak politik yang secara tidak langsung seperti mengarah kepada tragedi reformasi, dimana Soeharto dilengserkan.


"Perjuangan politik haruslah dalam koridor konstitusi. Harus dilakukan tanpa kekerasan." Prabowo Subianto

INFOGRAFIS