Analisa Politik

Analisa Politik : G7 Ganjalan Tiongkok?

  G7 2021 : Waspadai Dominasi Tiongkok? Sumber : thetimes.co.uk Baru-baru ini, para pemimpin G7 (Group of Seven) mengadakan pertemuan tatap ...

Saturday, April 4, 2020

Corona Merebak, Benarkan Yasonna Take a Chance?


Corona Merebak, Yasonna Take a Chance

Sumber Foto : Channel9.id

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly merencanakan pembebasan ribuan narapida, termasuk narapidana kasus korupsi untuk mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19), Namun, banyak pihak yang melakukan penolakan atas rencana tersebut. Pasalnya, Yasonna juga melakukan pembebasan untuk narapida korupsi, atas hal itu banyak pihak yang menyangka rencana Yasonna tersebut hanya menjadi akal-akalannya semata untuk melindungi para narapidana korupsi, benarkah demikian?






Para Koruptor sepertinya akan mendapatkan angin segar di tengah merebaknya kasus penyebaran virus Corona (Covid-19) di Indonesia. Pasalnya, Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) berencana untuk membebaskan ribuan narapidana, termasuk napi kasus korupsi, hal tersebut disinyalir karena untuk mencagah penyebaran virus Corona di lingkungan lapas.

Di sisi lain, terduga kasus suap pemilu 2019 Harun Masiku nampaknya tengah bersantai saat ini sembari menonton televisi sambil meminum kopi. Bagaimana tidak, atas berbagai isu mengenai penyebaran Corona di Indonesia yang banyak bermunculan di pemberitaan nasional, pemberitaan tentang tersangka kasus suap yang banyak melibatkan organisasi politik lainnya ini  bak hilang di tengah laut.

Isu mengenai adanya sayembara yang berhadiah 2 unit Iphone 11 untuk masyarakat yang membagikan informasi mengenai keberadaan Harus Masiku yang di adakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), sepertinya juga menjadi angin lewat dalam pemberitaan nasional. Pasalnya, sayembara tersebut juga belum bisa menurunkan atensi publik terhadap kasus Corona.

Kendati demikian, dalam kenyataannya rencana yang telah disusun oleh Yasonna untuk membebaskan para narapida di Indonesia mendapatkan banyak respon positif dari kalangan politisi maupun masyarakat, salah satunya yaitu dari Ketua Komisi III DPR RI.

Herman Hery selaku Ketua Komisi III DPR RI mendukung rencana yang dilakukan oleh Menkumham tersebut untuk membebaskan ribuan narapida, termasuk napi kasus korupsi untuk mencagah penyebaran virus Corona di lapas.

Senada dengan Herman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut dengan positif usulan yang diajukan oleh Yasonna untuk membebasakan narapida kasus korupsi, dengan mengedepankan 
kualifikasi usia narapidana.

Namun, di sisi lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik usulan Menkumham tersebut. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menyebut rencana pembebasan narapida korupsi di tengah maraknya kasus Corona, layaknya maling yang sedang melakukan aksinya di tengah bencana.

Dalam konteks tersebut, secara prinsip dan logika mungkin dalih pencegahan penyebaran virus Corona sangat masuk akal apabila di komparasikan dengan rencana pembebasan narapidana umum. Namun, hal tersebut menjadi tidak masuk akal apabila di komparasikan dengan rencana pembebasan narapidana kasus korupsi, bagaimana tidak, narapida koruptor di Indonesia memiliki kapasitas sel yang memadai dan dijamin terhindar dari penyebaran Corona serta memiliki fasilitas yang amat istimewa di dalam sel tahanannya. Sebut saja Setya Novanto yang mendapatkan banyak fasilitas 
khusus selama masa tahananya sebagai narapidana kasus korupsi ­e-ktp.

Lantas, apakah dengan adanya usulan pembebasan narapidana korupsi di tengah Corona, hanyalah dalih Yasonna untuk melenggangkan niatnya saja?


Pembebasan Narapida, Akal-akalan Yasonna?


Di tengah kekhawatiran masyarakat akan penyebaran virus Corona yang semakin banyak memakan korban jiwa serta melemahnya perekonomian nasional, nyatanya tidak membuat Yasonna kendor dalam menjalankan tugasnya sebagai Menkumham.

Usulan yang dilontarkan Yasonna untuk membebaskan para narapida korupsi guna mengurangi penyebaran virus Corona di lapas, tampaknya justru menimbulkan kecemasan bagi masyarakat dan aktivis anti-korupsi di Indonesia.

Sigmund Freud dalam temuannya mengenai Teori Psikoanalisis, menyebut kecemasan atau anxiety sebagai ego untuk memperingatkan individu kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.

Artinya, sangat mungkin sekali suatu usulan rencana mendapatkan reaksi adaptif bergantung pada konteks yang terjadi. Dalam konteks usulan mengenai pembebasan narapida korupsi yang dilakukan oleh Yasonna memang banyak mendapatkan reaksi penolakan, khususnya dari aktivis anti-korupsi di Indonesia.

Salah satu reaksi penolakan usulan tersebut datang dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Ia menyebut Menkumham Yasonna hanya mengambil kesempatan di tengah pandemi virus Corona untuk membebaskan napi korupsi.

Argumentasi tersebut dapat diperhitungkan apabila berkaca pada peristiwa lampau, dimana Yasonna pernah beberapa kali melakukan percobaan untuk membebaskan narapida kasus korupsi melalui Peraturan Pemerintah yang ada.

Menurut Donal Fariz, Peneliti Indonesian Corruption Watch menyebut bahwa terhitung sejak 2015-2019 Yasonna telah berupaya melakukan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 sebanyak empat kali untuk membebaskan narapida kasus korupsi.

Artinya, dengan merebaknya kasus penyebaran virus Corona, telah membuka peluang bagi Yasonna untuk kembali melakukan misinya di masa depan – hal tersebut dapat menjadi salah satu dasar justifikasi pada usulan Yasonna tersebut.

Di sisi lain, adanya dukungan positif dari beberapa lembaga pemerintahan seperti DPR dan KPK sepintas terlihat sebagai penyangkalan semata untuk bisa memuluskan langkah Yasonna tersebut.
Dalam konteks tersebut dapat kita pahami melalui konsep Denialisme Politik atau penyangkalan politik.

Dalam tulisan Keith Kahn-Harris, Denialism: What Drives People to Reject the Truth, ia menyebut bahwa penyangkalan merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari.

Dalam politik, Kahn menjelaskan bahwa penyangkalan justru dapat menciptakan dampak yang berbahaya. Dalam Konteks usulan pembebasan narapida korupsi, nyatanya telah digunakan oleh Herman (Ketua Komsisi III DPR) untuk menyangkal bahwa Yasonna melakukan hal tersebut bukan untuk melindungi narapida koruptor melainkan untuk mencegah penyebaran virus Corona di lapas.

Jika Demikian, dengan menimbang besarnya potensi bahaya yang terjadi akibat usulan Yasonna tersebut, maka masih pantaskah Yasonna dipertahankan sebagai Menkumham untuk 4 tahun 
mendatang?

Yasonna Irreplaceable?


Diktum Politisi selalu berbohong nampaknya semakin menjadi sebuah gundukan gunung di benak masyarakat. Tak ayal, hal tersebut dikarenakan sikap denialisme politik yang kerap dilakukan oleh politisi untuk kepentingan golongannya masing-masing.

Dalam konteks Yasonna sebagai Menkumham di masa pemerintahan Jokowi baik yang pertama maupun kedua, nyatanya ia memang kerap memunculkan kegaduhan di tengah masyarakat. Beberapa diantaranya seperti melontarkan kritik terhadap Dian Sastro dan Ketua Bem yang menolak RKUHP, Menolak untuk mencabut revisi UU KPK, melakukan kebohongan terkait keberadaan Harun Masiku, dan yang terbaru yaitu rencana melakukan revisi PP 9/2012 guna meringankan hukuman narapida korupsi.

Mengacu pada hal tersebut, nyatanya belum cukup membuat hati Jokowi luluh untuk menggantikan Yasonna. Pasalnya, Yasonna merupakan sosok rekomendasi pertama partai yang berlambang banteng, bagaimana tidak, Yasonna merupakan sosok yang dikenal dekat dengan Ketua Umum PDI-P, Megawawti Soekarnoputri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Megawati merupakan sosok penting bagi Jokowi dalam kedudukannya saat ini, selain itu hubungan Jokowi dan Megawati layaknya seperti ibu dan anak, bahkan banyak yang menyebut Megawati adalah Presiden yang sebenarnya.

Kornelius Purba dalam tulisannya How History will Eventually Write Megawati, menyebut Jokowi mungkin merupakan presiden yang sah secara hukum atau secara de jure, namun secara de facto atau kenyataannya, Megawati-lah yang sebenarnya menjadi pimpinannya. Hal ini menjadi ganjalan besar bagi Jokowi untuk memecat Yasonna dari jabatan Menkumham.

Dengan demikian, menimbang pada besarnya pengaruh politik Yasonna yang selama ini sudah meresahkan masyarakat sepertinya bergantung atas kebijaksanaan Jokowi terkait kedudukan Yasonna saat ini.

"Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai."Pramoedya AnantaToer