Corona
Merebak, Yasonna Take a Chance
![]() |
Sumber Foto : Channel9.id |
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly merencanakan pembebasan ribuan narapida, termasuk narapidana kasus korupsi untuk mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19), Namun, banyak pihak yang melakukan penolakan atas rencana tersebut. Pasalnya, Yasonna juga melakukan pembebasan untuk narapida korupsi, atas hal itu banyak pihak yang menyangka rencana Yasonna tersebut hanya menjadi akal-akalannya semata untuk melindungi para narapidana korupsi, benarkah demikian?
Para Koruptor sepertinya akan mendapatkan angin segar di tengah merebaknya
kasus penyebaran virus Corona (Covid-19) di Indonesia. Pasalnya, Menteri Hukum
dan Ham (Menkumham) berencana untuk membebaskan ribuan narapidana, termasuk
napi kasus korupsi, hal tersebut disinyalir karena untuk mencagah penyebaran
virus Corona di lingkungan lapas.
Di sisi lain, terduga kasus suap pemilu 2019 Harun Masiku nampaknya tengah
bersantai saat ini sembari menonton televisi sambil meminum kopi. Bagaimana tidak,
atas berbagai isu mengenai penyebaran Corona di Indonesia yang banyak
bermunculan di pemberitaan nasional, pemberitaan tentang tersangka kasus suap
yang banyak melibatkan organisasi politik lainnya ini bak hilang di tengah laut.
Isu mengenai adanya sayembara
yang berhadiah 2 unit Iphone 11 untuk masyarakat yang membagikan informasi
mengenai keberadaan Harus Masiku yang di adakan oleh Masyarakat Anti Korupsi
Indonesia (MAKI), sepertinya juga menjadi angin lewat dalam pemberitaan
nasional. Pasalnya, sayembara tersebut juga belum bisa menurunkan atensi publik
terhadap kasus Corona.
Kendati demikian, dalam kenyataannya rencana yang telah disusun oleh Yasonna
untuk membebaskan para narapida di Indonesia mendapatkan banyak respon positif
dari kalangan politisi maupun masyarakat, salah satunya yaitu dari Ketua Komisi
III DPR RI.
Herman Hery selaku Ketua Komisi III DPR RI mendukung
rencana yang dilakukan oleh Menkumham tersebut untuk membebaskan ribuan
narapida, termasuk napi kasus korupsi untuk mencagah penyebaran virus Corona di
lapas.
Senada dengan Herman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut
dengan positif usulan yang diajukan oleh Yasonna untuk membebasakan narapida
kasus korupsi, dengan mengedepankan
kualifikasi usia narapidana.
Namun, di sisi lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik
usulan Menkumham tersebut. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menyebut
rencana pembebasan narapida korupsi di tengah maraknya kasus Corona, layaknya
maling yang sedang melakukan aksinya di tengah bencana.
Dalam konteks tersebut, secara prinsip dan logika mungkin dalih pencegahan
penyebaran virus Corona sangat masuk akal apabila di komparasikan dengan
rencana pembebasan narapidana umum. Namun, hal tersebut menjadi tidak masuk
akal apabila di komparasikan dengan rencana pembebasan narapidana kasus
korupsi, bagaimana tidak, narapida koruptor di Indonesia memiliki kapasitas sel
yang memadai dan dijamin terhindar dari penyebaran Corona serta memiliki
fasilitas yang amat istimewa di dalam sel tahanannya. Sebut saja Setya Novanto
yang mendapatkan banyak fasilitas
khusus selama masa tahananya sebagai
narapidana kasus korupsi e-ktp.
Lantas, apakah dengan adanya usulan pembebasan narapidana korupsi di tengah
Corona, hanyalah dalih Yasonna untuk melenggangkan niatnya saja?
Pembebasan Narapida, Akal-akalan Yasonna?
Di tengah kekhawatiran masyarakat akan penyebaran virus Corona yang semakin
banyak memakan korban jiwa serta melemahnya perekonomian nasional, nyatanya
tidak membuat Yasonna kendor dalam menjalankan tugasnya sebagai Menkumham.
Usulan yang dilontarkan Yasonna untuk membebaskan para narapida korupsi
guna mengurangi penyebaran virus Corona di lapas, tampaknya justru menimbulkan
kecemasan bagi masyarakat dan aktivis anti-korupsi di Indonesia.
Sigmund Freud dalam temuannya mengenai Teori Psikoanalisis, menyebut
kecemasan atau anxiety sebagai ego
untuk memperingatkan individu kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat
disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.
Artinya, sangat mungkin sekali suatu usulan rencana mendapatkan reaksi
adaptif bergantung pada konteks yang terjadi. Dalam konteks usulan mengenai
pembebasan narapida korupsi yang dilakukan oleh Yasonna memang banyak
mendapatkan reaksi penolakan, khususnya dari aktivis anti-korupsi di Indonesia.
Salah satu reaksi penolakan usulan tersebut datang dari Direktur Pusat
Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Ia menyebut
Menkumham Yasonna hanya mengambil kesempatan di tengah pandemi virus Corona
untuk membebaskan napi korupsi.
Argumentasi tersebut dapat diperhitungkan apabila berkaca pada peristiwa
lampau, dimana Yasonna pernah beberapa kali melakukan percobaan untuk
membebaskan narapida kasus korupsi melalui Peraturan Pemerintah yang ada.
Menurut Donal Fariz, Peneliti Indonesian Corruption Watch menyebut
bahwa terhitung sejak 2015-2019 Yasonna telah berupaya melakukan revisi PP
Nomor 99 Tahun 2012 sebanyak empat kali untuk membebaskan narapida kasus
korupsi.
Artinya, dengan merebaknya kasus penyebaran virus Corona, telah membuka peluang
bagi Yasonna untuk kembali melakukan misinya di masa depan – hal tersebut dapat
menjadi salah satu dasar justifikasi pada usulan Yasonna tersebut.
Di sisi lain, adanya dukungan positif dari beberapa lembaga pemerintahan seperti
DPR dan KPK sepintas terlihat sebagai penyangkalan semata untuk bisa memuluskan
langkah Yasonna tersebut.
Dalam konteks tersebut dapat kita pahami melalui konsep Denialisme Politik
atau penyangkalan politik.
Dalam tulisan Keith Kahn-Harris, Denialism:
What Drives People to Reject the Truth, ia menyebut
bahwa penyangkalan merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan dalam
kegiatan sehari-hari.
Dalam politik, Kahn menjelaskan bahwa penyangkalan justru dapat menciptakan
dampak yang berbahaya. Dalam Konteks usulan pembebasan narapida korupsi, nyatanya
telah digunakan oleh Herman (Ketua Komsisi III DPR) untuk menyangkal bahwa Yasonna
melakukan hal tersebut bukan untuk melindungi narapida koruptor melainkan untuk
mencegah penyebaran virus Corona di lapas.
Jika Demikian, dengan menimbang besarnya potensi bahaya yang terjadi akibat
usulan Yasonna tersebut, maka masih pantaskah Yasonna dipertahankan sebagai
Menkumham untuk 4 tahun
mendatang?
Yasonna Irreplaceable?
Diktum Politisi selalu berbohong nampaknya semakin menjadi sebuah gundukan
gunung di benak masyarakat. Tak ayal, hal tersebut dikarenakan sikap denialisme
politik yang kerap dilakukan oleh politisi untuk kepentingan golongannya
masing-masing.
Dalam konteks Yasonna sebagai Menkumham di masa pemerintahan Jokowi baik
yang pertama maupun kedua, nyatanya ia memang kerap memunculkan kegaduhan di
tengah masyarakat. Beberapa diantaranya seperti melontarkan kritik terhadap
Dian Sastro dan Ketua Bem yang menolak RKUHP, Menolak untuk mencabut revisi UU
KPK, melakukan kebohongan terkait keberadaan Harun Masiku, dan yang terbaru
yaitu rencana melakukan revisi PP 9/2012 guna meringankan hukuman narapida
korupsi.
Mengacu pada hal tersebut, nyatanya belum cukup membuat hati Jokowi luluh
untuk menggantikan Yasonna. Pasalnya, Yasonna merupakan sosok rekomendasi
pertama partai yang berlambang banteng, bagaimana tidak, Yasonna merupakan
sosok yang dikenal dekat dengan Ketua Umum PDI-P, Megawawti Soekarnoputri.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Megawati merupakan sosok penting bagi
Jokowi dalam kedudukannya saat ini, selain itu hubungan Jokowi dan Megawati
layaknya seperti ibu dan anak, bahkan banyak yang menyebut Megawati adalah
Presiden yang sebenarnya.
Kornelius Purba dalam tulisannya How
History will Eventually Write Megawati, menyebut
Jokowi mungkin merupakan presiden yang sah secara hukum atau secara de jure, namun secara de facto atau kenyataannya, Megawati-lah
yang sebenarnya menjadi pimpinannya. Hal ini menjadi ganjalan besar bagi Jokowi
untuk memecat Yasonna dari jabatan Menkumham.
Dengan demikian, menimbang pada besarnya pengaruh politik Yasonna yang
selama ini sudah meresahkan masyarakat sepertinya bergantung atas kebijaksanaan
Jokowi terkait kedudukan Yasonna saat ini.
"Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai."Pramoedya AnantaToer