Analisa Politik

Analisa Politik : G7 Ganjalan Tiongkok?

  G7 2021 : Waspadai Dominasi Tiongkok? Sumber : thetimes.co.uk Baru-baru ini, para pemimpin G7 (Group of Seven) mengadakan pertemuan tatap ...

Tuesday, April 7, 2020

Stigmatisasi Buruk Menjadi Penghambat Penanganan Corona?


Stigamatisasi Sosial ditengah Corona

Sumber Foto : Aktualitas.id

Pandemi Virus Corona (COVID-19) masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, tak pelak isu virus tersebut selalu menjadi tajuk utama di media cetak maupun online, dalam situasi saat ini menimbulkan stigma negatif di kalangan masyarakat sehingga menjadi dampak sosial baru, lantas bagaimanakah peran pemerintah dalam mecegah stigma negatif seputar pandemi tersebut?




Sejak pertama kali diumumkan bahwa virus Corona (Covid-19) merupakan pandemi virus global yang telah mawabah di 201 negara, nyatanya virus tersebut tidak hanya menimbulkan dampak di bidang ekonomi saja.

Pandemi virus Corona ini juga telah melahirkan dampak sosial baru yaitu munculnya stigma atau pandangan negatif di tengah-tengah masyarakat, khususnya bagi mereka yang dinyatakan positif terjangkit virus Corona dan tenaga medis.

Menurut penuturan Direktur Utama RSUP Persahabatan, Rita Rigayah menyebut banyak masyarakat yang melakukan penolakan terhadap tenaga medis untuk tinggal di kosan atau kontrakan, hal tersebut dipicu adanya rasa kekhawatiran dari masyarakat akan penularan virus tersebut.

Di sisi lain, kampanye untuk menjaga jarak atau yang disebut physical distancing, nyatanya juga mengalami kebablasan penafsiran dari masyarakat, dan hal itu yang memicu banyaknya kasus-kasus stigmatisasi yang terjadi di tengah pandemi ini, beberapa diantaranya yaitu aksi pengusiran terhadap tenaga medis, hingga adanya pemblokadean mobil ambulan yang membawa jenazah pasien Covid-19.

Artinya, dalam perkebangannya, phisical distancing yang seharusnya ditafsirkan sebagai karantina mandiri di rumah dan menghindari aktivitas di luar ruangan, justru telah memunculkan stigamatisasi sosial terhadap para pasien yang terjangkit Corona dan khususnya para tenaga medis.

Dalam sejarahnya, mewabahnya Human Immunedeficiency Virus (HIV), Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), dan ODHA di Indonesia, sering mendapatkan stigma buruk dan pengucilan di tengah masyarakat. Maka, sudah tidak heran apabila hal tersebut juga terjadi di tengah mewabahnya Covid-19 ini.  

Dengan demikian, penerapan suatu kebijakan atau kampanye sosial yang terapkan pemerintah, harusnya juga diiringi dengan pemberian edukasi sosial yang terkait, supaya hal tersebut dapat di hindari dan memberikan kesejahteraan psikologi para tenaga medis yang sedang berjuang.



Perawat bukan layaknya Penjahat


Istilah stigamatisasi sosial di Indonesia, sejatinya banyak yang dilekatkan kepada para narapidana. Hal ini juga disebut sebagai ciri negatif yang melekat kepada seseorang atau kelompok dan kemudian ditolak keberadaannya di lingkungannya.

Menurut Cookie, Baldwin, dan Howison dalam tulisannya Psycology in Prisons, menyebut bahwa kehidupan yang dijalani seorang narapida selama berada di lingkungan penjara membuat dirinya menghadapi masalah psikologi setelah dikeluarkan dari penjara, salah satunya yaitu mendapatkan pelebelan buruk atau stigmatisasi buruk dari masyarakat.

Maka, dengan mengkomparasikan istilah pelebelan buruk atau stigmatisasi buruk yang diterima oleh para narapida dengan perawat sepertinya akan memiliki dampak yang sama terhadap kesejahteraan psikologi dari masing-masing. Hal tersebut dikarenakan alasan kekhawatiran kelangsungan hidup di lingkungan masyarakat.

Selain itu, kondisi lingkungan hidup merupakan salah satu komponen dari kesejahteraan, dan dalam konteks perawat yang mendapatkan stigma buruk di tengah masyarakat akan mempengaruhi mental dan kinerjanya dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat itu sendiri.

Menurut World Health Organization, menyebut bahwa kesehatan mental yang postif merupakan suatu kondisi seseorang menjadi sejahtera dengan menyadari kemampuannya sendiri, mampu mengatasi tekanan normal dari kehidupan, mampu bekerja secara baik dan produktif, dan mampu memberikan kontribusi nyata pada dirinya maupun pada masyarakat.

Artinya, di tengah pandemi saat ini, apabila tenaga medis memiliki kesehatan mental yang positif, maka mereka akan bekerja dengan baik dan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang baik pula, dan apabila sebaliknya, maka mereka tidak akan mampu memberikan kontribusi yang nyata dan pelayanan yang baik terhadap masyarakat.

Di sisi lain, tenaga medis merupakan garda terdepan dalam penanganan wabah pandemi ini yang bekerja keras mempertaruhkan jiwa raga dan keselamatan dirinya demi orang lain dan demi warga bangsanya.

Maka sudah sepatutnya mereka diberikan penghargaan dan apresiasi setinggi mungkin, seperti halnya yang dilakukan oleh warga Tiongkok yang menyambut tenaga medis bak pahlawan di negaranya.
Lantas, sudah sepatutnya para tenaga medis di Indonesia diberikan penghargaan dan apresiasi setinggi mungkin bukan diberikan stigmatisasi buruk yang dilekatkan kepadanya. Mari Jauhi 
Virusnya, Bukan Orangnya.

Stigmatisasi Sosial, Pekerjaan Baru Pemerintah?


Di tengah gejolak permasalahan penerapan lockdown antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang belum terselesaikan hingga saat ini, sepertinya pemerintah memiliki pekerjaan baru dalam hal mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pandemi Corona.

Dampak sosial yang tengah berseliwiran di tengah masyarat dan yang menyoalkan banyaknya stigmatisasi terhadap para pasien ODP, PDP, jenazah pasien Corona, dan tenaga medis, nampaknya menjadi persoalan baru yang harus di selesaikan.

Pada peristiwa HIV, AIDS, dan ODHA, kebijakan dan program untuk mencegah maupun mengintrol kasus-kasus dalam peristiwa tersebut sudah banyak dilakukan di Indonesia sejak bertahun-tahun lamanya. Namun, stigma buruk terhadap orang-orang hidup dengan HIV, AIDS, dan ODHA masih ditemukan dan sulit dihilangkan.

Dalam kenyataannya, stigma buruk tersebut menjadi kendala yang menghambat kesuksesan jalannya program-program yang dibentuk untuk memerangi pandemi tersebut. Kondisi ini tentunya dapat mempengaruhi keefektifan program dalam memerangi HIV dan AIDS.

Upaya untuk mengurangi stigma buruk terhadap orang yang terjangkit HIV dan AIDS merupakan bagian yang terpenting, hal tersebut dikarenakan telah menjadi tantangan terbesar dalam konteks penanganan persoalan AIDS.

Direktur Program Global AIDS dari WHO dalam deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000, menyebut bahwa stigma buruk merupakan tantangan terbesar/utama dalam konteks penanganan AIDS secara global, di samping penyakitnya sendiri.

Upaya dalam menghilangkan stigma buruk nyatanya pernah dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan sosialisasi tentang HIV, AIDS kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka. Namun, pada kenyataannya hal tersebut belumlah cukup untuk menghentikan stigma buruk yang terjadi di tengah masyarakat.

Berkaca pada peristiwa tersebut, nyatanya juga telah berlangsung pada peristiwa yang saat ini sedang terjadi, stigma buruk yang didapatkan para ODP, PDP, Jenazah pasien Corona, bahkan tenaga medis sepertinya akan menjadi kendala dalam memerangi pandemi Corona yang sedang berlangsung ini.

Bagaimana tidak, hal tersebut telah menghambat akses terhadap layanan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan tenaga medis yang secara mental mengalami penurunan akibat adanya stigma buruk tersebut.

Dengan demikian, akan menjadi hal yang sulit apabila hanya menggantungkan harapan pada pihak pemerintah saja untuk memberantas, menghambat, dan mengurangi stigma buruk terkait dengan penyakit Corona tersebut, oleh karena itu, tokoh utama yang memiliki kemampuan meghapus stigma buruk tersebut hanyalah kesadaran dan kedewasaan masyarakat itu sendiri.


Ingat Jargon Lama
"Mari Jauhi Virusnya Bukan Orangnya."