G7 2021 : Waspadai Dominasi Tiongkok?
![]() |
Sumber : thetimes.co.uk |
Baru-baru ini, para pemimpin G7 (Group of Seven) mengadakan pertemuan tatap muka pertamanya sejak masa krisis Covid-19. Gelaran pertemuan tersebut di langsungkan di Carbis Bay, Cornwall, Inggris. Pemerintah Inggris selaku tuan rumah pertemuan G7 2021 mengungkapkan bahwa pentingya pertemuan secara langsung untuk dapat memberikan respon cepat tentang situasi terkini, dan tak lupa diiringi dengan protokol Covid-19.
Hasil pertemuan tersebut menciptakan berbagai pernyataan bersama
communique G7, salah satunya yaitu G7
merespon dan menyerukan
isu virus corona agar dapat diselidiki asal musalnya secara transparan yang
dipimpin oleh serorang ahli dan berbasis ilmu pengetahuan. Selain itu, dalam
pertemuan tersebut juga, para pemimpin G7 bersepakat untuk merespon agresi
Tiongkok dalam Belt, Road, dan Initiative
(BRI) yang dianggap dapat memberikan destabilitas kawasan.
BRI merupakan
salah satu kebijakan Tiongkok yang dapat dipandang sebagai kebijakan yang
ambisius dengan tujuan untuk dapat menghubungkan Eurasia dengan menggunakan
cakupan Economic Road dan Maritime Road yang melibatkan lebih dari
2/3 populasi global dan 3/4 sumber energi.
Khan, dkk menjelaskan
dalam Concept Paper: China’s BRI : A
Global Model for Evolving Approach to Sustainable Regional Development, bahwa
BRI adalah proyek internasional yang menawarkan peluang besar negara berkembang
untuk dapat berkejasama secara ekonomi, khususnya dalam integrasi regional
kawasan Eropa dan Asia. BRI kemudian digadang-gadang dapat menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Tiongkok dan perdagangan lintas-batas.
Inisiatif ini juga berfokus pada pemulihan keseimbangan global dan perluasan
hubungan yang saling menguntungkan dan inklusif secara universal.
Melihat besarnya agresi Tiongkok melalui BRI tersebut,
tak ayal membuat negara-negara anggota G7 menjadi sangat khawatir atas
implikasi yang nantinya mengarah kepada destabilitas ekonomi negara dan
regionalnya. Sesuai kesepakatan dalam pertemuan G7, upaya melawan kebijakan BRI
Tiongkok adalah dengan meluncurkan
Built Back Better World (B3W) yang
merupakan inisiatif infrastruktur signifikan untuk negara berkembang atau negara
yang berpenghasilan rendah.
Inisiatif tersebut tak lain dan tak bukan didorong oleh Amerika
Serikat sebagai negara yang paling vokal untuk memerangi dominasi Tiongkok. Hal
ini yang kemudian dapat dijustifikasi bahwa peran Amerika Serikat atas
inisiasinya untuk mencegah kekuatan Tiongkok melalui forum G7, merupakan bentuk
reaksi hegemon atas aksi Tiongkok di Eurasia.
Meminjam istilah Kenneth Waltz dalam varian neorealisme
defensif, ia menyebutkan
bahwa sistem internasional berjalan anarkis (suatu kondisi dengan tidak adanya
otoritas tunggal). Kondisi ini yang kemudian akan memaksa setiap negara untuk
saling mengimbangi satu sama lain. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Amerika
Serikat menginginkan untuk mempertahankan hegemoninya dengan membentuk tatanan
ekonomi baru dengan mengajak negara-negara yang tergabung dalam G7 untuk menentang
agresi Tiongkok.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Amerika Serikat
dalam membendung agresi Tiongkok di Indo-Pasifik, Amerika Serikat bersama
Jepang, Australia, dan India membentuk aliansi yang diberi nama Quad
(Quadrilateral Security Dialog) yang bertujuan untuk mengganggu ambisi Tiongkok
menjadi kekuatan utama atau hegemon di kawasan Asia.
BRI sejatinya menawarkan suatu potensi yang cukup besar
dalam beberapa bidang, khususnya dalam bidang ekonomi guna menciptakan lapangan
kerja untuk mengurangi angka kemiskinan dunia. Namun, secara politis, hal ini
dapat bernilai negatif bagi negara-negara yang memiliki pengaruh politik di dunia,
seperti halnya Amerika Serikat dan sekutunya.
Terlepas dari pertemuan G7 yang berlangsung di Inggris tersebut, Amerika Serika dan Tiongkok memiliki rentetan persaingan yang cukup panjang, khususnya dalam hal pengaruh ekonomi-politik di dunia. Maka, sudah menjadi hal yang wajar apabila Amerika Serikat mendorong G7 untuk ikut masuk dalam arenanya guna membendung Tiongkok, khususnya di Eurasia.
Hal ini akan menjadi menarik apabila respon Tiongkok mengenai pertemuan G7 2021 menggunakan narasi G7 Anti-Tiongkok. apakah ini dapat terjadi? mungkin 'ya' mungkin 'tidak' semua tergantung bagaimana strategi Tiongkok dalam merespon hal ini.
No comments:
New comments are not allowed.