Penentuan Peta Zona Risiko, Kewenangan Siapa?
Landaian jumlah kasus penularan
Covid-19 dan meroketnya jumlah kasus kesambuhan di Kota Surabaya, nyatanya
telah membuat optimisme besar bagi Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang baru-baru
ini mengklaim wilayahnya yaitu kota Surabaya telah menjadi zona hijau penularan
Covid-19. Namun, dalam data Pemprov Jawa Timur, Kota Surabaya dinyatakan masih
dalam tatanan zona merah penularan Covid-19. Lantas, Apa makna dibalik klaim
politisi PDIP tersebut?
Sebagai negara yang mengalami dampak signifikan akhibat mewabahnya virus
Corona di Tanah Air, Indonesia tak henti-henti untuk melawan arus serangan
virus yang telah menelan 5.302 korban meninggal
dunia ini. Walaupun demikian, Indonesia nyatanya terus mengalami banyak
hambatan dalam menangani wabah virus tersebut, hal ini dibuktikan dengan belum
melandainya tingkat penularan Corona di Indonesia.
Membandingkan dengan negara-negara Eropa, seperti; Spanyol, Italia,
Inggris, hingga Jerman yang tengah merasa terhibur dengan kembalinya digelar
acara olahraga yang menjadi tontonan favorit masyarakat Eropa, pastinya
masyarakat Indonesia merasa cemburu dengan tidak dilangsungkannya acara
olahraga di Tanah Air.
Namun, dibalik keberlangsungan acara olahraga di Eropa tersebut, pastinya
terdapat perjuangan keras negara-negara Eropa dalam melawan pandemi virus
Corona sebelum itu. Melihat hal tersebut, pastinya banyak yang bertanya-tanya,
apakah Indonesia dari sejak awal memang kurang memprioritaskan penanganan
Corona?
Jika mengaca pada negara yang telah menjadi episentrum Covid-19 dunia,
yaitu Amerika Serikat (AS), yang secara kasat mata terlihat memiliki statistik
buruk dalam penanganan Covid-19 karena lebih memprioritaskan persoalan ekonomi
dari pada persoalan penanganan Covid-19, apakah sebenarnya Indonesia demikian,
sama seperti AS yang memprioritaskan persoalan ekonomi?
Pertanyaan semacam ini bisa dibenarkan apabila kita mengacu pada
bayang-bayang resesi yang dialami Indonesia dan meningkatnya angka Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Namun, di lain sisi, kita juga ingin pendemi ini lekas
berlalu.
Dan baru-baru ini, Kebimbangan akan persoalan penanganan Covid-19 dan
persoalan ekonomi, nyatanya sudah tidak tampak dalam tubuh pemerintah
Indonesia, tidak terkecuali pemerintah daerah, hal tersebut dibuktikan dengan
klaim yang dilakukan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini tentang wilayahnya telah menjadi zona hijau penularan
virus Corona dan siap untuk membuka perbatasan jalan dan memulihkan
perekonomian masyarakat.
Klaim yang dilakukan oleh Kader PDIP tersebut justru bertentangan dengan
dengan data milik Pemprov Jawa Timur. Menurut data Pemprov Jawa Timur dan Peta Zonasi Risiko, Surabaya
merupakan wilayah yang masih termasuk zona merah dengan resiko tinggi.
Lantas, apakah yang dapat dimaknai dari klaim Risma dalam menghadapi pandemi
Covid-19 tersebut?
Klaim Risma Langkahi Kewenangan Satgas Covid-19?
Jika sebelumnya kita disudutkan pada dikotomi persoalan ekonomi dan
penanganan penularan Covid-19 di Indonesia - adalah keliru jika kita terjebak
dalam suatu penalaran tersebut.
Nassim Nicholas Taleb, Penulis yang menggagas Teori Angsa Hitam dalam The Black Shawn sekaligus aktivis dan
pegiat media sosial asal Lebanon, menyebut terdapat suatu kekeliruan jika negara
mengalami dilema antara prioritas kesehatan dan ekonomi dalam menyoalkan
penanganan Covid-19 dan ia menyebut pemahaman tersebut dengan sebutan false dichotomy atau dikotomi palsu.
Artinya, pemerintah dan masyarakat telah keliru apabila mengaku terdapat
sebuah dikotomi diantara kedua hal tersebut dan sejatinya kesehatan dan
perekonomian memiliki hubungan satu sama lainnya.
Di akhir perdebatan mengenai dikotomi yang menyoalkan prioritas kesehatan
dan ekonomi, publik kembali digemparkan dengan pernyataan Risma yang menyoalkan
klaim Surabaya menjadi zona hijau yang bertentangan dengan data Permprov Jawa
Timur.
Yang menjadi sorotan dalam klaim tersebut yaitu kewenangan atas penentuan
zona merah, kuning, dan hijau yang seharusnya di sampaikan oleh Satuan Gugus
Tugas Pusat dengan mempertimbangkan indikator epidemiologi, surveilans dan
kesehatan masyarakat. Lantas, apakah kader PDIP tersebut melangkahi wewenang
Tim Satuan Gugus Tugas Pusat?
Dalam memaknai konteks masalah ini, sedikitnya dapat melihat tulisan
Francis Fukuyama yang berjudul What is Governance?. Dalam tulisannya tersebut ia menegasakan bahwa
dalam tata kelola pemerintah yang baik ditentukan oleh dua faktor, yaitu;
kapasitas dan otonomi. Dalam hal ini, kapasitas diartikan merujuk pada kualitas
sumber daya dan tingkat profesionalisme birokrasi, sedangkan otomomi merupakan
kemampuan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan secara mandiri.
Dengan kata lain, Besar kecilnya otonomi yang dimiliki oleh pemerintah
daerah tergantung pada kapasitas yang dimiliki. Artinya, dengan merujuk paham
Fukuyama tersebut, dalam konteks klaim zona hijau Risma, tergantung pada kapasitas
yang dimiliki untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri. Lantas, apakah
pemerintah daerah khususnya Surabaya sudah memiliki kapasitas yang memadai?
Jika Memaknai paham Fukuyama yang menyoalkan indikator pengambilan otonomi
pemerintah daerah yang mengerucut pada kualitas profesionalisme birokrasi yang
dimiliki. secara mengeneralisir dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia,
dengan rumitnya kualitas birokrasi yang dimiliki serta aturan wewenang yang
menyoalkan penentuan zona merah, kuning, hijau. Dapat disimpulkan bahwa otonomi
yang dimiliki pemerintah daerah belum bisa terpenuhi, khususnya dalam otonomi
pengambilan keputusan penentuan zona.
Dengan demikian, walaupun dalam data penularan Covid-19, Surabaya mengalami
pelandaian. Akan tetapi, keputusan soal zonasi warna dan peta risiko tetap
menjadi wewenang satuan gugus tugas pusat dan perlu juga memenuhi perhitungan
indikator kesehatan diantaranya; indikator epidemiologi, surveilans, dan
pelayanan masyarakat.
Dan tentunya kita berharap pandemi ini dapat berlalu dengan cepat dan perekonomian Indonesia dapat pulih kembali seperti sediakala.
"Adalah Sebuah Tantangan Bagaimana Berpolitik Sebagai Suatu Seni Untuk Merealisasikan Apa Yang Tak Mungkin Menjadi Mungkin."
(Hillary Clinton, Politikus USA 1947-Now)
No comments:
New comments are not allowed.