Analisa Politik

Analisa Politik : G7 Ganjalan Tiongkok?

  G7 2021 : Waspadai Dominasi Tiongkok? Sumber : thetimes.co.uk Baru-baru ini, para pemimpin G7 (Group of Seven) mengadakan pertemuan tatap ...

Wednesday, August 12, 2020

Penentuan Peta Zona Risiko, Kewenagan Baru Walikota?

 Penentuan Peta Zona Risiko, Kewenangan Siapa?

Sumber : Suara.com

Landaian jumlah kasus penularan Covid-19 dan meroketnya jumlah kasus kesambuhan di Kota Surabaya, nyatanya telah membuat optimisme besar bagi Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang baru-baru ini mengklaim wilayahnya yaitu kota Surabaya telah menjadi zona hijau penularan Covid-19. Namun, dalam data Pemprov Jawa Timur, Kota Surabaya dinyatakan masih dalam tatanan zona merah penularan Covid-19. Lantas, Apa makna dibalik klaim politisi PDIP tersebut?


Sebagai negara yang mengalami dampak signifikan akhibat mewabahnya virus Corona di Tanah Air, Indonesia tak henti-henti untuk melawan arus serangan virus yang telah menelan 5.302 korban meninggal dunia ini. Walaupun demikian, Indonesia nyatanya terus mengalami banyak hambatan dalam menangani wabah virus tersebut, hal ini dibuktikan dengan belum melandainya tingkat penularan Corona di Indonesia.

Membandingkan dengan negara-negara Eropa, seperti; Spanyol, Italia, Inggris, hingga Jerman yang tengah merasa terhibur dengan kembalinya digelar acara olahraga yang menjadi tontonan favorit masyarakat Eropa, pastinya masyarakat Indonesia merasa cemburu dengan tidak dilangsungkannya acara olahraga di Tanah Air.

Namun, dibalik keberlangsungan acara olahraga di Eropa tersebut, pastinya terdapat perjuangan keras negara-negara Eropa dalam melawan pandemi virus Corona sebelum itu. Melihat hal tersebut, pastinya banyak yang bertanya-tanya, apakah Indonesia dari sejak awal memang kurang memprioritaskan penanganan Corona?

Jika mengaca pada negara yang telah menjadi episentrum Covid-19 dunia, yaitu Amerika Serikat (AS), yang secara kasat mata terlihat memiliki statistik buruk dalam penanganan Covid-19 karena lebih memprioritaskan persoalan ekonomi dari pada persoalan penanganan Covid-19, apakah sebenarnya Indonesia demikian, sama seperti AS yang memprioritaskan persoalan ekonomi?

Pertanyaan semacam ini bisa dibenarkan apabila kita mengacu pada bayang-bayang resesi yang dialami Indonesia dan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, di lain sisi, kita juga ingin pendemi ini lekas berlalu.

Dan baru-baru ini, Kebimbangan akan persoalan penanganan Covid-19 dan persoalan ekonomi, nyatanya sudah tidak tampak dalam tubuh pemerintah Indonesia, tidak terkecuali pemerintah daerah, hal tersebut dibuktikan dengan klaim yang dilakukan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini tentang wilayahnya telah menjadi zona hijau penularan virus Corona dan siap untuk membuka perbatasan jalan dan memulihkan perekonomian masyarakat.

Klaim yang dilakukan oleh Kader PDIP tersebut justru bertentangan dengan dengan data milik Pemprov Jawa Timur. Menurut data Pemprov Jawa Timur dan Peta Zonasi Risiko, Surabaya merupakan wilayah yang masih termasuk zona merah dengan resiko tinggi.

Lantas, apakah yang dapat dimaknai dari klaim Risma dalam menghadapi pandemi Covid-19 tersebut?




Klaim Risma Langkahi Kewenangan Satgas Covid-19?


Jika sebelumnya kita disudutkan pada dikotomi persoalan ekonomi dan penanganan penularan Covid-19 di Indonesia - adalah keliru jika kita terjebak dalam suatu penalaran tersebut.

Nassim Nicholas Taleb, Penulis yang menggagas Teori Angsa Hitam dalam The Black Shawn sekaligus aktivis dan pegiat media sosial asal Lebanon, menyebut terdapat suatu kekeliruan jika negara mengalami dilema antara prioritas kesehatan dan ekonomi dalam menyoalkan penanganan Covid-19 dan ia menyebut pemahaman tersebut dengan sebutan false dichotomy atau dikotomi palsu.

Artinya, pemerintah dan masyarakat telah keliru apabila mengaku terdapat sebuah dikotomi diantara kedua hal tersebut dan sejatinya kesehatan dan perekonomian memiliki hubungan satu sama lainnya.

Di akhir perdebatan mengenai dikotomi yang menyoalkan prioritas kesehatan dan ekonomi, publik kembali digemparkan dengan pernyataan Risma yang menyoalkan klaim Surabaya menjadi zona hijau yang bertentangan dengan data Permprov Jawa Timur.

Yang menjadi sorotan dalam klaim tersebut yaitu kewenangan atas penentuan zona merah, kuning, dan hijau yang seharusnya di sampaikan oleh Satuan Gugus Tugas Pusat dengan mempertimbangkan indikator epidemiologi, surveilans dan kesehatan masyarakat. Lantas, apakah kader PDIP tersebut melangkahi wewenang Tim Satuan Gugus Tugas Pusat?

Dalam memaknai konteks masalah ini, sedikitnya dapat melihat tulisan Francis Fukuyama yang berjudul What is Governance?. Dalam tulisannya tersebut ia menegasakan bahwa dalam tata kelola pemerintah yang baik ditentukan oleh dua faktor, yaitu; kapasitas dan otonomi. Dalam hal ini, kapasitas diartikan merujuk pada kualitas sumber daya dan tingkat profesionalisme birokrasi, sedangkan otomomi merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan secara mandiri.

Dengan kata lain, Besar kecilnya otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah tergantung pada kapasitas yang dimiliki. Artinya, dengan merujuk paham Fukuyama tersebut, dalam konteks klaim zona hijau Risma, tergantung pada kapasitas yang dimiliki untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri. Lantas, apakah pemerintah daerah khususnya Surabaya sudah memiliki kapasitas yang memadai?

Jika Memaknai paham Fukuyama yang menyoalkan indikator pengambilan otonomi pemerintah daerah yang mengerucut pada kualitas profesionalisme birokrasi yang dimiliki. secara mengeneralisir dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, dengan rumitnya kualitas birokrasi yang dimiliki serta aturan wewenang yang menyoalkan penentuan zona merah, kuning, hijau. Dapat disimpulkan bahwa otonomi yang dimiliki pemerintah daerah belum bisa terpenuhi, khususnya dalam otonomi pengambilan keputusan penentuan zona.

Dengan demikian, walaupun dalam data penularan Covid-19, Surabaya mengalami pelandaian. Akan tetapi, keputusan soal zonasi warna dan peta risiko tetap menjadi wewenang satuan gugus tugas pusat dan perlu juga memenuhi perhitungan indikator kesehatan diantaranya; indikator epidemiologi, surveilans, dan pelayanan masyarakat.

Dan tentunya kita berharap pandemi ini dapat berlalu dengan cepat dan perekonomian Indonesia dapat pulih kembali seperti sediakala.


"Adalah Sebuah Tantangan Bagaimana Berpolitik Sebagai Suatu Seni Untuk Merealisasikan Apa Yang Tak Mungkin Menjadi Mungkin."

(Hillary Clinton, Politikus USA 1947-Now)

No comments: